Pedoman lengkap setelah teks pendek dengan tema sama
sebelumnya. Karena semua materi yang kita unggah (teks, foto, video dll) di internet
bersifat menetap sampai akhir zaman. Kalau baik, maka menuai pahala selamanya. Dengan
bahasa iman, kalau materi yang diunggah buruk, haram, dhalim kepada sesama, maka
berdosa secara kontinyu detik demi detik sampai akhir zaman. Amal yang telah anda
kumpulkan habis karena dosa yang terus menumpuk. Nah ada saja seorang teman mengunggah
foto “saru” di medsos/internet, dengan rasa senang dan bangga. Padahal karena materi
itu haram dilihat orang, maka pengunggah berdosa, detik demi detik sampai akhir
zaman. Maka berpikirlah sebelum mengunggah materi ke internet. Lebih baik unggah
materi baik, karena akan ada pengembalian kebaikannya (balasan dari Tuhanmu).
Pedoman dan petunjuk beragama Islam ialah Al-Qur’an
dan As-Sunnah, tetapi bagaimana memedomani Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak boleh atau tidak bisa semaunya atau
terserah kita. Semua itu tentu ada bakunya. Karena agama dari Allah, diturunkan (diajarkan)
kepada Nabi Muhammad saw, untuk diajarkan kepada semua umat manusia, khususnya
yang beriman. Jadi pemahaman dan pengamalan agama harus asli atau otentik, mengikuti apa yang diajarkan
Nabi Muhammad saw. Contoh yang paling simpel ada di dunia komputer. Ada komputer
yang operating system (OS)-nya Windows atau Linux atau Aple. Tidak bisa kan kalau semau kita, atau dicampur-campur.
Kecuali kita pakar, ya silakan bikin OS sendiri. Persis seperti ulama yang
sangat lama mengaji, mengajar, menyusun tulisan, akhirnya menulis Kitab untuk
dipedomani umat. Termasuk Kitab Tafsir Al-Qur’an. Tetapi sekedar memperkuat
agama Islam agar umat dimudahkan belajar dan memedomani Al-Qur’an dan As-Sunnah
untuk diamalkan. Bukan berarti menjadi nabi baru, karena Nabi Muhammad saw
adalah Nabi terakhir atau penutup para Nabi.
Misalnya seseorang
mengatakan “Saya ambil dari Al-Qur’an untuk tujuan ini...”, maka bukan berarti
asal comot suatu ayat, lalu dikarang manfaatnya, dicocokkan sesuai terjemahnya.
Memahami agama dan mengamalkannya tidak bisa begitu. Apalagi wahyu kan dari
Allah swt kepada Nabi-Nya, jadi ya harus mencari tahu dari Kitab-kitab yang ada,
bagaimana dulu Rasul / Nabi saw menerangkan ayat itu. Maka ikutilah petunjuk
Rasul saw atau sahabat yang diamanahi untuk mentakwil (tafsir) misal Ibnu
Abbas. Tetapi persoalannya beliau-beliau sudah tidak ada, maka tentu kita cari
dari Kitab-kitab yang ditulis para ulama sesudahnya atau kita tanyakan
ulama/ustadz yang ahlinya di bidang itu. Para ulama sudah menulis sangat banyak
Kitab-kitab agama (ratusan ribu jumlahnya), misalnya kumpulan fatwa
(Al-Fatawa), Kitab Hadits, Kitab Tafsir
Al-Qur’an, Kitab Fiqih dll yang ditulis para ulama yang diakui
kemampuannya, maka kita bisa membaca Kitabnya. Sayangnya kitab yang dikarang
para ulama besar dan Imam Madzhab atau murid-muridnya kebanyakan berbahasa
Arab.
Di Indonesia sudah ada
Kitab Tafsir, misal yang ditulis oleh KH. Hasbi Ash-Siddiqy (Tafsir An-Nur),
HAMKA (Tafsir Al-Azhar), Prof. Quraisy Shihab (Tafsir Al-Misbah) dll yang
memang diakui ulama kepakaran beliau-beliau.
Dari kitab-kitab itu kita bisa melacak arti dan tafsir suatu ayat, dan
penggunaannya. Karena ayat bukan mantera, melainkan hukum, ada doa, ada sejarah
dll, tetapi seluruhnya bertujuan untuk menjadi petunjuk bagi orang yang
bertaqwa (Al-Baqarah [2]: 2).
Bolehlah belajar agama
dengan membaca Terjemahan Kitab Tafsir aslinya (Arab), misal Tafsir
Al-Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Maroghi dll, dan juga yang berbahasa
Indonesia, tetapi mutlak harus dibimbing oleh ustadz, sehingga bisa bertanya,
manakala ada kesulitan memahami. Telah kita ketahui bahwa ulama atau ustadz juga mempunyai
spesialisasi. Seorang penghafal Al-Qur’an (hafidz) belum tentu menguasai terjemah
dan tafsir Al-Qur’an dan sebaliknya. Seorang Imam Besar Masjid Agung, belum
tentu menguasai seluruh ilmu agama. Seorang ulama yang berfokus kepada ilmu
hadits, belum tentu menguasai Tafsir atau Fiqih atau ilmu lainnya. Demikian
terbatasnya manusia, maka kitalah yang harus mengaji dari berbagai ulama/ustadz
baik jika ingin diamalkan sendiri, apalagi jika untuk diajarkan kepada manusia,
termasuk menyebarkannya di internet. Bila mau mengajarkan agama kepada umat,
sudah belajar formal atau informal dari para ulama/ustadz yang terpercaya dan
telah mampu menguasai ilmunya secara komprehensif (ilmu bahasa Arab, Nahwu,
Shorof / gramatika, pernah mengaji tafsir Al-Qur’an, pernah mengaji ilmu
hadits, ilmu fiqih, dll). Artinya sudah kulakan lengkap dan barangnya asli,
baru berjualan atau memasarkan dagangannya.
Tentulah yang paling
kecil resikonya ialah mengajarkan apa yang diperoleh dari pengajian itu,
termasuk mempostingnya di dunia maya, sembari menyebut asal sumbernya. cara itu
kita telah berhati-hati menyebarkan suatu amalan atau pemahaman di internet,
karena bisa dibaca di seluruh dunia. Apalagi tulisan di dunia maya bersifat
tetap dan akan bisa diakses siapa saja sepanjang masih ada internet sampai
kiyamat. Apabila kemudian dikoreksi orang lain, seseorang yang mengajar atau
menyebarkan di website harus terbuka dan rendah hati, dan mau mengoreksinya. Sebagaimana
firman Allah swt sebagai berikut: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk
agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya
Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman”. (QS Al-An’am [6]: 125).
Maka jelaslah yang
paling mudah untuk memahami agama kita ini adalah dengan mengaji kepada ahlinya
langsung dengan tatap muka, dilandasi textnya (kitab/buku) dan dibolehkan
diskusi atau tanya jawab (ahli Al-Qur’an, ahli tafsir atau ulama / ustadz yang
juga sudah mengaji tafsir atau bidang apapun dalam agama). Jadi memahami agama
dan pengamalannya ada proses berantai, rantainya tidak putus, kalau disambung-sambung
terus tentu berasal dari sahabat Nabi atau Nabi saw. Dan pasti yang paling aman
adalah mengaji untuk diamalkan sendiri dan keluarga.
Jika ingin share di
internet, misalnya seseorang mengaji Al-Qur’an lalu tertarik suatu ayat, maka
haruslah dicari dulu petunjuknya yakni dari hadits/sunnah Nabi saw, dicek di
Kitab Tafsir, bagaimana tafsir atau takwilnya, bagaimana penggunaan ayat
tersebut. Dan harus jelas diperoleh darimana, apakah Kitab atau Pengajian dari
ulama/ustadz. Karena postingan di internet akan diikuti banyak orang, dan telah
disebut di atas bersifat tetap. Jika benar, dapat pahala, jika salah dapat
dosa, selama yang disampaikan itu diamalkan orang yang menerimanya, siapa saja
(lihat hadits di bawah), sampai hari kiyamat.
Mengapa harus demikian,
mari kita simak firman Allah hadits-hadits Nabi Muhammad saw sebagai pedoman
kita berikut ini:
Firman Allah swt:
Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS Ibrahim
[14]: 24-25).
Produknya (ucapan, tindakan)
mukminin adalah bermanfaat bagi sesama, haditsnya sudah kita kenal luas. Mari kita kaji hadits-hadits
lainnya sebagai berikut:
1. Secara umum landasan
agama adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya berdsar wasiyat Nabi Muhammad saw
sbb:
عَنْ
مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا
كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Dari Malik telah sampai
kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah
aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya."
(Muwatha’ Imam Malik)
2. Petunjuk untuk
mengamalkan agama (sunnah) harus dari Nabi Muhammad saw (disebut sunnah Nabi)
dan Sunnah Khulafaur Rosyidin (ulama sepakat ada 4 khalifah yaitu Abu Bakar
Ash-Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib
ra)
Sabda Nabi saw:
عَنْ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَا
أَتَيْنَا
الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ
{ وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ
قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ }
فَسَلَّمْنَا
وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ
الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ
مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
سنن
أبي داوود ٣٩٩١
Dari 'Abdurrahman bin
Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh
bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: '(dan
tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya
kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh
kendaraan orang yang membawamu) ' -QS. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam
kepadanya dan berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk
mendengar sesuatu yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu
ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau
lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat
menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu
apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku
wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan
mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam.
Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah
yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah
dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan
agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah
sesat." (HR Abu Dawud, Takhrij: Sahih menurut Al-Albani).
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ
سَارِيَةَ يَقُولُ
وَعَظَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا
الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا
بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ
بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ
الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الصَّبَّاحِ
الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ صَلَّى
بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً فَذَكَرَ
نَحْوَهُ
سنن
ابن ماجه ٤٣
Dari Abdurrahman bin
'Amru As Sulami bahwasanya ia mendengar 'Irbadl bin Sariyah berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memberi kami satu nasehat yang membuat air mata
mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka kami berkata kepada beliau; "Ya
Rasulullah, sesungguhnya ini merupakan nasihat perpisahan, lalu apa yang engkau
wasiatkan kepada kami?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
" Aku telah tinggalkan untuk kalian petunjuk yang terang, malamnya seperti
siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku melainkan ia akan binasa.
Barangsiapa di antara kalian hidup, maka ia akan melihat banyaknya
perselisihan. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui
dari sunnahku, dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjukk,
gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham. Hendaklah kalian taat meski
kepada seorang budak Habasyi. Orang mukmin itu seperti seekor unta jinak, di
mana saja dia diikat dia akan menurutinya." Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Hakim berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Ash
Shabbah Al Misma'i berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid dari
Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin 'Amru dari 'Irbadl bin Sariyah ia
berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengimami kami pada
shalat subuh, kemudian Beliau berpaling kepada kami dan memberi nasehat yang
sangat menyentuh." Lalu ia menyebutkan sebagaimana dalam hadits di atas.
(HR Ibu Majah. Sahih)
3. Karena kalau mengajarkan sunnah berpahala dan
mengajarkan bid’ah dosa
Sabda Nabi saw:
كَثِيرُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
جَدِّي عَنْ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً
مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ
بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعُمِلَ
بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ
مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
سنن
ابن ماجه ٢٠٥
Dari Katsir bin 'Amru
bin Auf Al-Muzani berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian orang-orang
mengerjakannya, maka ia akan mendapatkan sebagaimana pahala orang yang
mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa
membuat kebid'ahan, kemudian kebid'ahan itu dikerjakan oleh orang lain, maka ia
akan mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakannya."
(Al-Albani: Sahih)
Catatan: kebid’ahan
adalah menambah amalan baru yang tak ada dasarnya dari Nabi saw. Lihat no. 4 di
bawah.
4. Kalau amalan tidak ada dasarnya dari Nabi saw
maka tertolak
Sabda Nabi saw:
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم
: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه
البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah
radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal)
darinya), maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim
disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan
(agama) kami, maka dia tertolak. (Hadits no. 5 dalam
Kitab Arba’in Nawawiyah).
5. Agama bisa hilang (sesat) kalau orang bodoh
(tanpa ilmu agama) memberi fatwa agama
Sabda Nabi saw:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ
رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
وَفِي
الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَزِيَادِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ هَذَا
سنن
الترمذي ٢٥٧٦
Dari Abdullah bin 'Amru
bin al 'Ash dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya langsung
dari manusia, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, hingga
ketika Dia tidak meninggalkan seorang alim (di muka bumi) maka manusia
menjadikan orang-orang jahil (bodoh) sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya,
maka mereka memberikan fatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan."
Dan pada bab tersebut juga diriwayatkan dari Aisyah dan Ziyad bin Labid. Abu
Isa berkata; 'Ini adalah hadits hasan shahih. Dan az Zuhri telah meriwayatkan
hadits ini dari Urwah dari Abdullah bin 'Amru dan dari Urwah dari Aisyah dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hadits semisal ini. (HR At-Tirmidzi. Sahih).
Penutup
Jadi jelaslah kita
harus selektif, tidak mudah menerima suatu ajaran kecuali dari ustadz yang
dipercaya (ma’tsur/tsiqoh, bukan sekedar pandai berpidato) dan memang
benar-benar ahli agama karena lama nyantri di Ponpes yang bagus, sekolah di Madrasah
Diniyah, atau mengaji langsung dengan ulama (seperti HAMKA) dan antara
perkataan sama dengan amalannya. Atau mengambil materi dari website yang benar
misal dari organisasi agama (tentu yang telah diakui Pemerintah RI dan kita
tahu kebesaran atau riwayatnya. Bukan perorangan atau blog yang tidak jelas
siapa pengarangnya). Jika terpaksa materi diambil di internet dari blog/website
perorangan, kita harus sama selektifitasnya dengan cara memilih ustadz/ulama. Kedua
nama yang tercantum sebagai pengarang / pemilik web, benar-benar bisa dihubungi
dengan telepon, minimal email. Demikianlah maka rantai pemahaman agama dan
pengamalan kita terjaga benar-benar
bersambung kepada sumbernya yang asli (sampai dengan asalnya dari Rasulullah
saw).
Demikianlah makalah
pendek ini saya dedikasikan agar kita semua selamat meniti jalan lurus milik
Allah swt (Islam), agar selamat di dunia dan akhirat serta mendapat ridlo-Nya.
23/24 Romadlon 1434, 1 Agustus 2013
Al-Faqir HM. Masyrifan Djamil